kebahagiaan (part satu)


Apakah kebahagiaan merupakan sebuah persamaan yang dapat dipecahkan? 

Seperti sebuah rumus matematik? Atau seperti sebuah premis yang seringkali mendasari semua asumsi dan keyakinan kita. Premis bahwa kebahagiaan itu bersifat algoritmik, bisa diutak-atik dan diperoleh atau dicapai? Seperti masuk sekolah yang diinginkan, atau mendapatkan pasangan yang didamba-damba? Jika berhasil mendapatkan X, maka saya akan bahagia. Jika mendapat seseorang seperti Z, maka saya akan bahagia. Apakah selalu seperti itu, atau justru premis itu sendiri adalah masalahnya?

Beberapa bulan belakangan, terlalu banyak kasus konseling yang saya temui atau barangkali sekadar cerita curahan hati teman-teman terdekat yang mengatakan bahwa pasangannya pergi dengan wanita/pria lain. Tidak sedikit yang telah berada dalam ikatan pernikahan dan tidak sedikit barangkali kasus-kasus demikian kita temukan di dalam kehidupan percintaan sehari-hari. Atau mereka yang sudah memiliki mobil kemudian merasa saatnya harus membeli mobil lagi atau rumah lagi atau kulitnya sudah putih namun merasa kurang putih dan harus lebih putih lagi. Atau yang badannya sudah cukup langsing, merasa kurang langsing, demikian menurunkan lagi berat badannya sampai menjadi benar-benar ‘ramping’. Dari hal-hal sederhana yang sering kita temui tersebut, nampaknya ketidakpuasan dan kegelisahan merupakan bagian yang inheren dari sifat manusia dan seperti yang akan kita lihat bersama, bahwa ada kecenderungan kedua hal itu adalah komponen yang penting untuk menciptakan kebahagiaan yang konsisten dalam ranah positif.

Kita telah berevolusi untuk selalu hidup dengan derajat ketidakpuasan dan kegelisahan tertentu, karena hanya makhluk yang kurang puas dan tak terlalu amanlah yang mampu berinovasi dan bertahan hidup. Kita merasa tidak puas dengan apa pun yang kita miliki dan merasa puas hanya dengan sesuatu yang tidak kita miliki. See? Ketidakpuasan konstan ini telah membuat manusia terus bertarung dan berjuang, membangun dan menaklukan. Demikian, rasa sakit dalam segala bentuk merupakan alat yang paling efektif dari tubuh kita untuk mendorong suatu aksi. Seperti ketika kita patah hati, rasa sakit akibat ditinggalkan atau ketika dikhianati akan membentuk mekanisme umpan balik dalam diri kita yang memberi kita pengetahuan akan proporsi kita sendiri. Kita akan mulai memilah kepada hati atau lelaki/perempuan mana hati kita akan berlabuh.  Walaupun rasa sakit ini, sebagaimana kita membencinya, ternyata amat berguna.

Rasa sakit memberi kita pelajaran tentang apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita waspadai, apa yang harus kita perhatikan. See? Menghindari rasa sakit dan mengejar kenikmatan tidak selalu berguna, karena rasa sakit dapat sewaktu-waktu, menentukan hidup mati kita. Apa yang dikejar seorang laki-laki/perempuan dengan pasangan yang banyak? Apa yang dikejar dari memberi harapan kepada setiap perempuan/laki-laki? Apa yang dikejar dari tidur dengan orang yang bukan pasangan sah kita? 

Apa yang dikejar dari menjatuhkan rekan kerja dengan cara yang amat curang? Inilah hal yang sangat berbahaya dari suatu kehidupan hari ke hari, selalu mengelak dari ketidaknyamanan hidup yang jelas-jelas ada. Barangkali kita boleh menghindar atau mencari pelarian dari kehidupan yang bermasalah dengan menciptakan ide tentang kehidupan yang bebas dari masalah, penuh dengan kebahagiaan dari pacar nomor 1, 2, 3, 4 dan seterusnya, kasih yang abadi dan tidak pernah berakhir. Namun, sungguh  masalah tidak akan pernah selesai. Hidup adalah rentetan masalah yang tidak ada ujungnya.



Comments

Popular posts from this blog

journal-journey

AMPUNI KAMI YA TUHAN #PENGAMPUNAN

kebahagiaan (part dua)